Dalam kehidupan bermasyarakat yang memiliki konstelasi sosial yang
kompleks dimasa sekarang ini, adanya perbedaan khususnya dalam hal
persepsi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Upaya membangun
persepsi positif tentang Islam di mata dunia akan sulit terwujud
manakala paradigma keislaman tidak mengedepankan visi Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dalam membangun perdamaian dunia hakiki. Akan tetapi banyak sekali penafsiran dan persepsi yang keliru mengenai konsep rahmatan lil’alamin itu sendiri.
Ayat Al Quran yang sering digunakan sebagai landasan untuk menyebut Islam sebagai rahmatan lil’alamin adalah Surat Al Anbiya ayat 107 yang berbunyi “Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan rahmatan lil ‘alamin
(sebagai rahmat bagi seluruh manusia)”. Ibnul Qayyim Al Jauziah
menafsirkan ayat ini sebagai berikut : “Pendapat yang lebih benar dalam
menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat di sini bersifat umum. Dalam
masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama:
alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi
Muhammad. Kemanfaatan yang dimaksudkan disini memiliki makna yang
berbeda untuk subjek yang berbeda. Untuk orang mukmin yang mengikuti
beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus. Akan
tetapi untuk orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka
dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu
lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah
kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi
mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka
daripada hidup menetap dalam kekafiran.
Sedangkan untuk orang
kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah
dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini
lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi
Muhammad. Lain halnya untuk orang munafik, yang menampakkan iman secara
zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta,
keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum
muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Dan pada umat
manusia setelah beliau diutus, Allah tidak memberikan adzab yang
menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia
mendapat manfaat dari diutusnya Rasulullah.
Kedua:
Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman
menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat.
Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap
dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana
jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan
fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”.
Dalam
pendapat lain, DR. Abdul Karim dalam tulisannya di situs aldakwah.org.
Rahmat Allah itu harus dimaknai secara lebih luas dan termanifestasikan
kedalam dua hal berikut ini :
Yang pertama adalah manhaj (ajaran),
di antara rahmat Allah yang luas adalah manhaj atau ajaran yang dibawa
oleh Rasulullah saw berupa manhaj yang menjawab kebahagiaan seluruh umat
manusia, jauh dari kesusahan dan menuntunnya ke puncak kesempurnaan
yang hakiki. Allah SWT berfirman, “Kami tidak menurunkan Al Quran ini
kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang
yang takut (kepada Allah),” (QS. Thahaa: 2-3). Di ayat lain, Dia
berfirman, “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu…,” (QS
Al-Maidah: 3). Al Quran, Al Quran telah meletakkan dasar-dasar atau
pokok-pokok ajaran yang abadi dan permanen bagi kehidupan manusia yang
selalu dinamis.
Kitab suci terakhir ini memberikan kesempatan bagi
manusia untuk beristimbath (mengambil kesimpulan) terhadap hukum-hukum
yang bersifat furu’iyah. Hal tersebut merupakan konsekuensi
logis dari tuntutan dinamika kehidupannya. Begitu juga kesempatan untuk
menemukan inovasi dalam hal sarana pelaksanaannya sesuai dengan tuntutan
zaman dan kondisi kehidupan, yang semuanya itu tidak boleh bertentangan
dengan ushul atau pokok-pokok ajaran yang permanen. Dari sini bisa kita
pahami bahwaAl Quran itu benar-benar sempurna dalam ajarannya. Tidak
ada satu pun masalah dalam kehidupan ini kecuali Al Quran telah
memberikan petunjuk dan solusi. Allah berfirman, “Tiadalah Kami alpakan
sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan,” (QS al-An’aam: 38). Dalam ayat lain berbunyi, “Dan Kami
turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri,” (QS an-Nahl: 89).
Yang kedua adalah penyempurna
kehidupan manusia, di antara rahmat Islam adalah keberadaannya sebagai
penyempurna kebutuhan manusia dalam tugasnya sebagai khalifah di muka
bumi ini. Rahmat Islam adalah meningkatkan dan melengkapi kebutuhan
manusia agar menjadi lebih sempurna, bukan membatasi potensi manusia.
Islam tidak pernah mematikan potensi manusia, Islam juga tidak pernah
mengharamkan manusia untuk menikmati hasil karyanya dalam bentuk
kebaikan-kebaikan dunia. “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambaNya dan
(siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (QS al-A`raf: 32).
Islam memberi petunjuk mana yang baik dan mana yang buruk, sedang
manusia sering tidak mengetahuinya. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui,” (QS al-Baqarah: 216).
Jalan untuk kebaikan,
rahmat dalam Islam juga bisa berupa ajarannya yang berisi jalan / cara
mencapai kehidupan yang lebih baik, dunia dan akhirat. Hanya kebanyakan
manusia memandang jalan Islam tersebut memiliki beban yang berat,
seperti kewajiban sholat dan zakat, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar,
kewajiban memakai jilbab bagi wanita dewasa, dan sebagainya. Padahal
Allah SWT telah berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya,” (QS al-Baqarah: 286). Pada dasarnya,
kewajiban tersebut hanyalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. “Jika
kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri,” (QS
al-Isra’: 7).
Akan tetapi, sekarang ini banyak yang salah kaprah
dalam memaknai rahmatan lil ‘alamin tersebut. Sehingga menimbulkan
banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat
fundamental, yaitu dalam masalah aqidah, misalnya memboleh-bolehkan
ucapan natal dari seorang Muslim terhadap umat Nasrani atau bersifat
permisive terhadap ajaran sesat yang tetap mengaku Islam. Dan yang
paling parah ada sebagian kalangan yang menggunakan Ayat ke 107 dari
Surat Al-Anbiya yang tersebut di awal tulisan ini untuk melakukan
justifikasi terhadap hal-hal yang jauh sekali menyimpang dari makna
rahmatan lil’alamin itu sendiri. Seperti, mengajak untuk berkasih sayang
kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara
mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua
agama sama dan benar. Atau membiarkan orang-orang meninggalkan shalat,
membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanit amembuka aurat mereka
di depan umum bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan
menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung
hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam khan rahmatan
lil’alamin, penuh kasih sayang”. Dan bahkan ada sebagian orang
menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka
menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan memecah-belah ummat dan
menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam
adalah rahmatan lil ‘alamin.
Last but not least, sekali
lagi perlu ditegaskan disini bahwa Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan
pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan
hidayah kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa
peribadatan kepada selain Allah, itulah makna rahmatan lil’alamin yang
sesunggunya bukan sekedar mempersepsikan bahwa dengan adanya Islam maka
otomatis akan tercipta suasana sosial yang sejuk, damai dan toleransi
dimana saja Islam berada, apalagi sebagai mayoritas. Kalau memang ada
kemungkaran, memang ada yang perlu diperangi dan perlu ada pedang yang
terhunus dan perlu ada darah yang tertumpah, itu tidak menjadi masalah
selama syariat Islam bisa tegak dimuka bumi. Tidak ada artinya damai di
dunia tapi nelangsa di akhirat. Islam sebagai rahmat bagi alam semesta
adalah tujuan bukan proses. Artinya untuk menjadi rahmat bagi alam
semesta bisa jadi umat Islam harus melalui beberapa ujian, kesulitan
atau peperangan seperti di zaman Rasulullah. Wallahu’alam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon