“Rasulullah
saw. ditanya: Wahai Rasulullah! Apakah sudah diketahui orang yang akan
menjadi penghuni surga dan orang yang akan menjadi penghuni neraka?
Rasulullah saw. menjawab: “Ya”.
Kemudian beliau ditanya lagi: Jadi untuk apa orang-orang harus beramal? Rasulullah saw. menjawab:
“Setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yang telah menjadi takdirnya.” “(Shahih Muslim No.4789).
Setiap manusia
memiliki talenta dalam dirinya, apakah sebagai seniman, apakah sebagai
pemikir, ataukah lainnya. Suatu kecenderungan raga atas beberapa pilihan
yang ada dalam kehidupan manusia. Begitu pula dalam perbuatan, Ada yang
suka main judi, suka pemabok, suka main perempuan, suka ibadah, suka
korupsi, dan bermacam-macam aktifitas lainnya.
Semua
kecenderungan tersebut telah di desaign sedemikian rupa, sehingga terasa
wajar sekali bagi yang melakukannya. Telah di rencanakan Allah sebelum
manusia itu sendiri di ciptakanNya.
Semua manusia
akan di mudahkan untuk melakukan suatu perbuatan yang mengarahkan
dirinya kepada takdir raganya. Jikalau takdir sang raga adalah penghuni
neraka maka dia akan di mudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
buruk.
Begitu juga
sebaliknya, jika raganya di takdirkan sebagai penghuni surga maka dia
akan di mudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang
mengarahkannya ke surga. Itulah talenta yang melekat kepada raga
manusia. Itulah kecenderungan yang mengarahkan jiwa untuk mengikuti
kemauan sang raga.
Manusia
senantiasa diuji jiwanya, agar senantiasa mampu menetapi posisinya,
untuk memahami potensi yang ada dalam dirinya, potensi yang ada dalam
raganya. Serta bersama sang raga, mengarahkannya kepada
perbuatan-perbuatan yang di ridhoi Allah. Upaya inilah yang akan di nilai oleh Allah. Pergolakan
jiwa, menentang potensi kejahatan dalam raganya, adalah upaya jihad
sesungguhnya, yang senantiasa di lihat Allah, hal inilah yang di
harapkan senantiasa terasah dalam diri manusia. Dalam jiwa manusia.
Raga adalah alat
Allah untuk membangun peradaban manusia di muka bumi ini. Sebagaimana
nabi Khidir yang membunuh seorang manusia, apakah itu dinilai sebagai
kejahatan..?. Padahal membunuh adalah suatu kejahatan besar. Mengapa
perbuatan nabi Khidir tidak di nilai sebagai kejahatan..?. Sekali lagi
raga hanyalah alat, dimana di dalamnya telah terisi program-program dan
informasi yang telah di tetapkan Allah atas diri manusia.
Maka jika sang
raga melakukan sesuatu perbuatan jahat atau baik, semua itu sudah di
rencanakan Allah. Sehingga kita di harapkan tidak terlalu bersedih hati.
Allah Maha pengasih lagi Maha Pengampun. Karena seluruh kejadian berada
dalam liputan Allah, berada dalam pengetahuan Allah, berada dalam
kehendak Allah semata.
Persoalan
yang mendasar adalah, bagaimana posisi jiwa saat itu. Apakah sedang
menghadap kepada Allah, atau sedang menghadap kepada selain Allah (Thogut) ?.
Apakah merasa bahwa perbuatannya itu sebagai perbuatan baik, padahal sesungguhnya perbuatan itu adalah perbuatan buruk ?
Al qur’an jelas sudah memberikan petunjuk mana yang baik dan mana perbuatan yang buruk. !.
Apakah jiwa mereka mau mendengarkan..?. Dan
berupaya untuk selalu terus memperbaiki kondisi jiwa mereka, memohon
ampunan, berusaha lebih keras lagi memperbaiki diri, membaca terus
lintasan hati, sehingga terjaga dari bisikan was-was, dan lain
sebagainya. Inilah yang membedakan manusia atas takdir mereka nantinya.
Surga ataukah neraka.
Manusia akan
sulit sekali menolak kecenderungan raga atas perbuatan baik atau
buruknya. Karena desaignnya memang sedemikian rupa. Keseimbangan alam
semesta akan selalu di warnai oleh dualistas sifat manusia. Baik dan
buruk.
Maka manusia yang tengah berperan sebagai baik jangan sombong dengan kebaikannya, begitu juga diri manusia yang sedang berperan buruk jangan pula terlena dengan sifat-sifatnya.
Jiwa senantiasa harus menghadap kepada Allah. Jiwa senantiasa harus mengingat Allah, ber dzikir. Menghadap Allah. Seluruh
jiwa memliki potensi yang sama untuk mendapatkan surga. Tergantung
bagaimana usaha pada diri manusia itu sendiri. Usaha sang jiwa untuk
senantiasa mendapatkan pengajaran Allah dalam setiap gerak nafasnya.
Jiwa senantasa
harus memahami potensi raganya, merasakan apa-apa yang ada dalam
liputannya. Karena Allah tidak akan merubah apa-apa yang ada dalam diri
sang jiwa, jika jiwa sendiri tidak mau merubah potensi yang ada dalam
dirinya. Jiwa diharapkan mampu mengenal dirinya, mengenal potensi baik
dan buruk, dan membedakannya.
Maka Jiwa
diharapkan senantiasa memohon pengajaran kepada Allah. Jiwa senantiasa
di hadapkan kepada Allah. Kemudian setelah jiwa mengenal seluruh
potensinya, bersama raga bersiap menjalankan seluruh aktifitas yang
sudah di skenario oleh Allah SWT. Jika raga melakukan keburukan, jiwa
dengan cepat memohon ampun, bertaubat dan seterusnya.
Begitu juga jika
raga melakukan kebaikan, maka jiwa senantiasa harus berserah diri,
menyadari bahwa sesungguhnya dia tidak bisa berbuat apa-apa, itu semua
adalah rahmat Allah semata, sehinga dia mampu melakukan kebaikan di muka
bumi ini.
Maka dengan ini
di harapkan manusia tidak resah dalam menghadapi takdirnya, meskipun
takdir itu buruk ataupun takdir itu baik. Baik dan buruk hanyalah
persepsi yang diangankan manusia atas setiap perbuatan sang raga.
Sejatinya Allah Maha Mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk atas
setiap kejadian.
Allah telah
menjaga manusia dari bala. Dengan menempatkan (malaikat) penjaga. Untuk
menjaga manusia dari depan dan belakang mereka agar berjalan sebagaimana
takdir mereka itu. Allah tidak akan merugikan manusia sedikitpun.
Allah menjamin
manusia bahwa Dia adalah Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang. Maka
kita mesti merubah posisi jiwa untuk menetapi keadaan ini. Tidak akan di
rubah potensi pada jiwa, perimbangan potensi baik dan buruk , dan
apa-apa saja yang ada dalam dirinya, jika jiwa sendiri tidak berusaha
untuk melakukan perubahan, dan pengenalan pada dirinya sendiri.
Maka karenanya
kadang manusia menilai perbuatan buruk adalah sebagai perbuatan baik.
Dan dia dalam kesesatannya. Karena dia tidak mau mengenal dirinya
sendiri, memohon pengajaran kepada Allah. Karena hanya Allah yang mampu
mengajarkan manusia tentang bagaimana mengenal potensi-potensi jiwa pada
diri mereka masing-masing.
Allah tidak akan
merubah kesadaran kolektif suatu bangsa sebelum setiap jiwa yang
menjadi bagian dari masyarakat tersebut berusaha melakukan penyucian
jiwa-jiwa mereka sendiri. Dengan kata lain, di harapkan secara
bersama-sama masyarakat melakukan gerakan penyucian jiwa. Maka
sesungguhnya baik dan buruk adalah sudah menjadi ketetapan Allah semata
atas diri suatu kaum. Maukah jiwa merubahnya..?.
Jiwa harus mampu
mengenali potensi dirinya, dipergiliran rahsa dalam jiwa manusia, yang
memaksa jiwa bergulat dalam kesedihan, dalam kemarahan, dalam ke
masgulan, dalam kesombongan, dan dalam sifat-sifat lainnya.
Kesemua sifat
itu, kesemua rahsa itu begitu melenakan, begitu mengharu biru,
menghentakan akal dan logika, sehingga nyaris kita tertutup,
mempertanyakan Tuhan. Semua rahsa itu menarik kesadaran kita untuk
selalu berada pada potensi rahsa itu, sulit bagi kesadaran kita beralih
kepada lainnya. Sulit bagi jiwa kita untuk lepas dari satu rahsa ke
rahsa lainnya.
Semua membutuh usaha,
upaya keras kita untuk menyadari, dan menghadapkan potensi-potensi untuk
kepada penciptanya. Menghadapkan rahsa, menghadapkan daya, menghadapkan
akal, dan kesemua potensi raga. Berjalan diatas semua itu, diatas rahsa
di jiwa. Hanya ada, ”La ila ha ilallah !”.
Bagaimanakah rahsanya sedih..?
Bagaimanakah rahsanya senang…?
Bagaimanakah rahsanya kecewa dan kesal..?
Bagaimanakah rahsanya kehilangan..?
Bagaimanakah rahsanya cinta..?
Bagaimanakah rahsanya marah…?
Baimanakah rasanya bangga..?
Bagaimakah rahsanya patah hati dan disakiti..?
Bagaimanakah
juga dengan rahsa-rahsa lainnya..?. Rasa tak diakui, rahsa dihina,
rahsa di nista, rahsa di caci maki, dan sebagainya dan sebagainya.
Adakah yang mampu menjawabnya..?
Bagaimanakah
rahsanya manis, bagaimanakah rahsanya asin, rahsa pahit, rahsa getir,
bagaimanakah rahsany gurih. Bagaimana rahsanya coklat, campucino,
nano-nano, dan masih sejuta rahsa lainnya yang mampu di deteksi lidah
dan indra manusia. Bagaimanakah sensasi rahsanya..?. Adakah yang mampu
menjelaskannya..?.
Bagaimanakah
jika kita tidak memiliki indra perasa, apakah masih ada rahsa-rahsa itu
pada kesadaran kita..?. Bagaimanakah kita mengkomunikasikan rahsa-rahsa
itu..?.
Aku ingin mengikutiMu betapa pun jauh
Perjalanan yang bakal mengasyikkan
Menyeberangi laut, menjelajah awan,
menembus langit dan bintang-bintang
Perjalanan yang bakal mengasyikkan
Menyeberangi laut, menjelajah awan,
menembus langit dan bintang-bintang
Gemuruh yang aku dengar, adakah suaraMu?
Gemersik daun bergeser aku memanggilMu
Gema yang berputar-putar mengurung mencekam
Aku merasa terpencil sendirian.
Gemersik daun bergeser aku memanggilMu
Gema yang berputar-putar mengurung mencekam
Aku merasa terpencil sendirian.
Getaran di dalam dada turun satu-satu
Bencana demi bencana telah kulewati
Jiwa raga kupasrahkan hanya kepadaMu
Di sinikah, di bukit ini kita ‘kan bertemu? (Ku gandeng Tangan Gaib-Mu, by Ebiet G Ade)
Bencana demi bencana telah kulewati
Jiwa raga kupasrahkan hanya kepadaMu
Di sinikah, di bukit ini kita ‘kan bertemu? (Ku gandeng Tangan Gaib-Mu, by Ebiet G Ade)
Menikmati
guliran rahsa, gak punya uang, di kejar tagihan, besok mungkin kenyang
sampai tak bisa makan, dsb..dsb. Maka hadapkan saja kepada Tuhanmu. Dia
adalah tempat kembali segala urusan.
Sebab
hakekatnya, hanya raga yang sudah di tentukan takdirnya, namun jiwa
bebas memilih takdirnya sendiri, mau surga ataukah neraka. Semua
tergantung kepada perjuangan dirinya (jiwa) masing-masing. Mampukah jiwa mengalahkan ‘ego diri’ sang raga ?.
EmoticonEmoticon